Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond
Sewajarnya, wanita akan bisa hamil secara normal jika sel telur yang telah dibuahi (embrio) bergerak dan tumbuh di dalam rahim. Namun, ada beberapa kondisi pada wanita yang embrionya berkembang di tempat lain, seperti di tuba falopi, rongga perut, ovarium, dan leher rahim.
Berdasarkan penjelasan dari dr. M. Haekal, Sp.OG, dari Brawijaya Women and Children Hospital, Jakarta, kondisi ini disebut dengan istilah kehamilan ektopik atau kehamilan di luar rahim. Lantas, apa penyebab terjadinya kondisi tersebut? Baca penjelasan lengkapnya berikut ini, Moms.
Masalah anatomi dan gaya hidup
Secara medis, kehamilan ektopik terjadi jika embrio berada di luar rahim. Pada kasus ini, tercatat sekitar 95 persen terjadi di area tuba falopi, dan lainnya terjadi di rongga perut, ovarium, dan leher rahim. Gaya hidup saat ini, seperti merokok dan mengonsumsi makanan cepat saji menjadi pemicu terjadinya peningkatan kasus kehamilan ektopik. Selain itu, terdapat faktor lain, seperti:
1. Kelainan anatomi pada tuba falopi. Kelainan ini menjadi penyebab utama kehamilan ektopik di bagian tuba (kehamilan tuba). Dari presentasi kehamilan tuba, sebanyak 70 persen terjadi di area ampula.
2. Riwayat pembedahan tuba. Pembedahan untuk mengatasi masalah pada tuba falopi atau riwayat sterilisasi tuba dapat meningkatkan risiko kehamilan ektopik di tuba.
3. Pernah mengalami kehamilan ektopik. Jika punya riwayat, maka kemungkinan berulang kehamilan ektopik meningkat sebesar 10 persen.
4. Riwayat infeksi tuba atau penyakit menular seksual yang menyebabkan gangguan anatomi tuba, seperti salpingitis, adesi perituba, apendisitis, serta endometriosis.
5. Riwayat infertilitas dengan penggunaan teknologi reproduksi berbantu (assisted reproductive technique/ART: induksi ovulasi).
6. Kegagalan program Keluarga Berencana (KB) dapat menyebabkan kehamilan ektopik meningkat. Terutama KB dengan cara sterilisasi tuba, penggunaan hormon progestin, IUD Copper atau IUD yang melepaskan progesteron.
Waspadai flek
Pada kondisi awal, gejala dan tanda kehamilan ektopik cenderung ringan. Namun umumnya, wanita dengan kondisi ini akan mengalami terlambat datang bulan, kemudian muncul perdarahan atau flek. Pada saat terjadi robekan tuba, hal tersebut akan menimbukan rasa nyeri abdomen atau panggul yang berat.
Pada pemeriksaan laboratorium, robekan tuba menyebabkan perdarahan akut sehingga pasien berisiko kekurangan darah. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, maka perlu dilakukan pemeriksaan awal, sebagai berikut:
⢠Pemeriksaan panggul, untuk mengetahui ukuran rahim dalam masa kehamilan dan merasakan keras atau tidak tekanan pada perut.
⢠Pemeriksaan darah, untuk mengecek hormon b-hCG, yang diulangi 2 hari kemudian. Pada kehamilan muda, level hormon ini meningkat sebanyak 2 kali setiap 2 hari. Kadar hormon yang rendah menunjukkan adanya suatu masalah, seperti terjadinya kehamilan ektopik.
⢠Pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk melihat kondisi dalam rahim.
Harus bedah
Sebagian besar kasus kehamilan ektopik tidak dapat dilanjutkan seperti kehamilan normal. Sel telur yang telah dibuahi tidak dapat bertahan hidup dan janin yang berkembang tidak pada tempatnya justru dapat membahayakan. Jika kehamilan ektopik terdeteksi sejak dini, dokter mungkin akan memberikan suntikan metroteksat untuk menghentikan pertumbuhan dan melarutkan sel telur.
Setelah itu, dokter akan melakukan pengecekan HCG (Human Chorionic Gonadotropin). Jika HCG masih tinggi, kemungkinan dokter akan menambah dosis suntikan. Namun bila sel telur sudah berkembang cukup besar, perlu dilakukan proses pembedahan.
Tindakan ini disebut laparoskopi, yaitu pembedahan dengan menggunakan bantuan tabung tipis yang dilengkapi dengan lensa kamera dan cahaya untuk melihat letak sel telur yang ada. Pada kondisi sel telur yang berada di tuba falopi, kemungkinan jika kondisi tuba sudah rusak maka perlu dilakukan pengangkatan tuba. (M&B/Vonia Lucky/SW/Dok. Freepik)