FAMILY & LIFESTYLE

Mendeteksi Gangguan Bipolar pada Anak sejak Dini


Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond


USA Government's National Institute of Mental Health, menemukan bahwa bipolar disorder (BPD) dialami oleh 2 dari 10 orang dewasa. Sekitar 5,7 juta warga Amerika Serikat dewasa terdeteksi mengalami gangguan ini. Sementara di Indonesia, data dari RSCM, Jakarta menunjukkan, jumlah pasien bipolar semakin meningkat tiap tahunnya dan menduduki peringkat ke-6 dari semua kasus kejiwaan.


Apa itu Bipolar?

Menurut dr. Fransiska Kaligis, Sp.KJ, psikiater spesialis anak dan remaja dari RSCM, bipolar merupakan salah satu gangguan psikis yang bisa mengakibatkan penyandangnya mengalami perubahan mood yang ekstrem.

Kondisi mood yang ekstrem dipengaruhi reaksi zat kimia dalam otak yang tidak seimbang. Sistem neurotransmitter, seperti serotonin, neropinefrin, dan dopamin yang merupakan zat pengendali perasaan seseorang, tidak bekerja dengan baik pada penderita bipolar.

Penderita bipolar akan mengalami fase depresi dan mania dalam jangka waktu tertentu yang disebut dengan episode. Gejala bipolar umumnya sulit dideteksi sejak masa anak-anak, dan biasanya baru terlihat saat pengidapnya menginjak usia 10-17 tahun.

"Kemungkinan besar para pasien bipolar mengalami masalah pengendalian emosi saat masa anak-anak, ditambah sudah ada cikal bakal biologis bipolar dalam tubuh sejak lahir yang juga sulit untuk diketahui," ungkap Fransiska.

Bipolar dibagi dalam 4 kategori berdasarkan episode mood, yaitu:

1. Episode Mania: Di episode ini, penderita akan merasa optimis, hebat, agresif, memiliki rencana realistis, terjadi peningkatan gairah seksual, tidak membutuhkan waktu tidur yang cukup, sehingga mampu siaga hingga berhari-hari. Rentang waktu episode ini sekitar 1-2 minggu.

2. Episode Depresi: Dalam episode ini, seseorang akan mengalami rasa pesimis, mudah tersinggung, menutup diri dari pergaulan, tidak memiliki energi yang mengakibatkan sering merasa lelah dan butuh banyak tidur, hingga perasaan ingin bunuh diri. Rentang waktu episode ini berlangsung hingga lebih dari 2 minggu.

3. Episode Hipomania: Tahap hipomania mirip dengan tahap mania, akan tetapi penderita merasa tenang, dan seakan telah kembali normal. Biasanya pada tahap ini, penderita juga merasa bahagia, punya banyak kreativitas, bersikap optimis, selalu tampak gembira, aktif, cepat marah, dan kebutuhan tidur yang kurang.

4. Episode Campuran: Penderita biasanya mengalami episode depresi dan mania secara bersamaan. Episode mania dan depresi berlangsung secara bergantian dan cepat. Episode campuran merupakan episode yang paling membahayakan para penderita bipolar.

Sebanyak 30 persen penderita berusaha melakukan tindakan bunuh diri dengan berbagai cara. Oleh sebab itu, peranan para ahlu kejiwaan untuk menormalkan mood penderita bipolar sangat dibutuhkan.


Ada Kesempatan Sembuh

Boris Birmaher, M.D, dari Western Psychiatric Institute dan Clinis di Pittsburgh, mengatakan, anak salah satu orang tua penyandang bipolar memiliki risiko 10,5 persen mengalami hal serupa. Dan seseorang dengan kedua orang tua yang mengalami BPD, berisiko mengalami bipolar lebih dari 20 persen. "Sebaiknya anak-anak tersebut diberikan terapi manajemen psikososial dan psikoterapi sejak dini. Bila mereka dewasa, ia lebih paham tentang apa yang terjadi pada dirinya," terang Boris.

Hingga saat ini belum ada tindakan atau obat-obatan yang mampu menyembuhkan bipolar secara menyeluruh. Gejala BPD bisa diredakan dengan mengonsumsi obat yang direkomendasikan dokter ditambah dengan terapi psikologis untuk mengatur emosi mereka.

Terlepas dari kekurangan tersebut, kebanyakan dari penyandang bipolar memiliki ide-ide cemerlang saat emosi mereka sulit dikendalikan. Beberapa tokoh dengan BPD antara lain, pelukis Van Gogh, komposer Ludwig van Beethoven, aktor Jim Carey, dan musisi Elvis Presley. Jadi, singkirkan stigma negatif dan bantu mereka melewati masa sulit. (M&B/Vonia Lucky/SW/Dok. Freepik)