BUMP TO BIRTH

Emboli Air Ketuban bisa Ancam Nyawa Ibu Hamil dan Bayi


Follow Mother & Beyond untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow Instagram @motherandbeyond_id dan Youtube Mother & Beyond


Emboli air ketuban adalah kondisi ketika air ketuban (atau bagian dari janin, seperti kulit yang terlepas atau lemak janin) masuk dan bercampur ke dalam jaringan pembuluh darah sang ibu. Air ketuban dan bagian dari janin ini dapat masuk ke dalam pembuluh darah ibu sehingga menciptakan emboli yang menghalangi sirkulasi. Hal tersebut dapat membuat kerusakan pada sistem peredaran darah, juga kegagalan fungsi jantung hingga menyebabkan kematian.

Gangguan ini umumnya terjadi saat persalinan atau tidak lama setelah persalinan. Kondisi ini tentunya sangat berbahaya karena sulit dicegah dan bisa memicu komplikasi serta mengancam nyawa ibu maupun bayi.

Meskipun kasusnya sangat jarang terjadi, emboli air ketuban berpotensi menimbulkan kematian mendadak pada ibu bersalin, karena sulit untuk dicegah, bahkan sulit terdeteksi sebab bisa timbul mendadak secara cepat dan penyebabnya tidak diketahui secara pasti.


Gejala dan Faktor Risiko Emboli Air Ketuban

Emboli air ketuban merupakan komplikasi langka dalam persalinan yang dicirikan dengan turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, turunnya kesadaran, dan terjadinya pembekuan darah tersemi (disseminated intravascular coagulation/DIC).

Emboli air ketuban sangat jarang terjadi, hanya sekitar 1 di antara 15.000 persalinan (data di Inggris) dan 1 di antara 27.000 persalinan di Asia Tenggara. Sekitar 70 persen emboli air ketuban terjadi sebelum dan saat persalinan.

Kasus ini tidak hanya terjadi pada persalinan normal ataupun operasi caesar saja, tetapi juga pada tindakan kuret, abortus, penjahitan serviks, maupun pengambilan plasenta yang tertinggal.

Gejala yang dialami ibu dengan emboli, antara lain adalah gagal napas, hipotensi, kejang, uterus atonia, dan gawat janin. Selain itu, ada gejala yang sering dianggap sama dengan penyakit lain, seperti rasa cemas berlebih, menggigil, nyeri kepala, dan nyeri di sekitar dada atau ulu hati. Bila Moms mengalami emboli saat kehamilan, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melakukan persalinan darurat.

Faktor risiko emboli air ketuban juga sulit dicari, karena kasusnya jarang terjadi. "Namun ada beberapa faktor yang mungkin menjadi risiko, yaitu usia ibu lebih dari 35 tahun, persalinan caesar, persalinan dengan vakum dan forceps, plasenta previa, solutio plasenta (lepasnya sebagian atau seluruh plasenta), eklampsia, dan gawat janin. Faktor yang lain adalah air ketuban janin yang banyak (polihidramnion) dan luka pada bibir rahim atau sobekan rahim," jelas dr. Yuditiya Purwosunu, Sp.OG (K).


Sangat Berbahaya

Emboli air ketuban sering terjadi saat persalinan lantaran selaput ketuban robek dan banyak pembuluh darah uterus yang terbuka. Cairan ketuban pun leluasa menyusup ke dalam pembuluh darah ibu dan terbawa oleh aliran pembuluh vena menuju rongga jantung.

Bila emboli air ketuban cukup untuk menyumbat kedua arteri, kematian segera terjadi. Jika sumbatan hanya terjadi pada 1 arteri, kemungkinan kematian tidak langsung terjadi. Namun bila emboli air ketuban meluas, kematian dapat terjadi dalam beberapa jam hingga beberapa hari kemudian.

"Karena itu, tidak mengherankan angka kematian emboli air ketuban mencapai 80 persen pada 1 jam pertama sejak timbulnya gejala, sekalipun sudah diberikan pertolongan medis," ungkap dr. Yuditiya.


Penanganan

Hingga kini, kasus emboli masih sulit dicegah. Pengobatannya pun tergantung dari lokasi emboli itu mengendap di tubuh ibu. Bila emboli mengendap di pembuluh darah kecil, efeknya tidak terlalu besar. Namun, bila emboli bersarang di pembuluh darah organ vital, kematian sering tidak dapat dihindari.

Namun kemajuan teknologi deteksi senyawa kimia (dengan liquid chromatography) bisa mendeteksi beberapa senyawa yang berkaitan dengan air ketuban dalam sirkulasi ibu. Sayangnya pemeriksaan ini berdurasi lama dan biasanya dilakukan setelah ibu mengalami komplikasi.

Jika pasien berhasil selamat, ia akan dirawat di ICU untuk meningkatkan tekanan darah, mengobati DIC, dan mencegah kejang. "Pengobatan ini dilakukan hanya untuk menunggu sistem organ kembali normal secara alami," jelas dr. Yuditiya. (M&B/SW/Dok. Freepik)